Ket. Gambar : Aristoteles
Penulis : Muhammad Najib (Aktivis HMI)
Al-insanu hayawanun nathiq, sebuah ungkapan yang familiar di telinga banyak orang.
Khususnya mereka yang pernah mempelajari logika atau manthiq.
Ya, ungkapan itu adalah ungkapan yang dilontarkan oleh Imam Al Ghazali, salah seorang imam tercerdas yang pernah dimiliki oleh dunia islam khususnya madzhab ahlus sunnah wa-l-jama’ah.
Manusia adalah binatang yang berakal atau binatang yang rasional. Sama-sama binatang, tapi manusia berbeda dengan binatang-binatang yang lain. Manusia merupakan satu spesies binatang langka yang memiliki keistimewaan.
Yang dengan keistimewaannya itu manusia dinilai lebih berharga daripada binatang secara keseluruhan. Lalu pertanyaannya, apa yang menjadikan manusia begitu istimewa?, begitu dibedakan seakan-akan manusia bukanlah satu species dari mahluk yang bernama binatang. Jawabannya adalah akal atau lebih bagus kalau kita sebut sebagai rasionalitas.
Dengan akalnya, dengan rasionalitasnya itulah manusia memiliki nilai lebih dibandingkan binatang-binatang lainnya. Manusia adalah binatang yang mampu berpikir, menimbang-nimbang, memutuskan suatu putusan berdasarkan perhitungan dan melakukan apa yang dia pikir benar serta bermanfaat. Itu di satu sisi.
Di sisi lainnya manusia memang termasuk jenis binatang. Itu dikarenakan manusia memiliki nafsu, syahwat dan sifat binatangi yang sangat kuat terhadap apa yang diinginkannya. Bahkan, manusia pun lebih keji daripada binatang kata Bang Iwan.
“Manusia sama saja dengan binatang selalu perlu makan. Namun caranya berbeda dalam memperoleh makanan. Binatang tak mempunyai akal dan pikiran, segala cara dihalalkan demi perut kenyang. Binatang tak pernah tau rasa belas kasihan, padahal disekitarnya tertatih berjalan pincang. Namun kadangkal ada manusia seperti binatang.
Bahkan manusia lebih keji dari binatang. Tampar kiri kanan alasan untuk makan, padahal semua tau dia serba kecukupan.
Intip kiri kanan lalu curi jatah orang, peduli sahabat entah kurus kering kelaparan”, kata Bang Iwan lebih lanjut.
Nah, dengan begitu menjadi jelas bagi kita bahwasanya akal dan rasionalitas adalah sebuah ciri pembeda, yang membedakan manusia dengan binatang lainnya. Jadi ungkapan Imam Ghazali diatas ataupun Syair yang Bang Iwan lantunkan tersebut bukan tidak memiliki alasan, akan tetapi mengandung nilai filosofis yang sangat dalam (dengan kata lain, sebenarnya baik Imam Ghazali ataupun Iwan Fals adalah seorang penganut madzhab Aristoteles yang taat).
Seperti juga yang tertuang dalam pemikiran filsafat Aristoteles, yang akan saya bahas pada kesempatan kali ini.
Sebelumnya telah dibicarakan tentang rasio - rasionalitas dalam perspektif logika Aristoteles. Yaitu mendudukkan rasio lebih tinggi daripada rasionalitas. Dia menjadikan rasio sebagai dasar awal pijakan dan pemberi prinsip pertama bagi rasionalitas. Akan tetapi, yang ditekankan kali ini bukanlah bagimana peran rasio dan rasionalitas serta cara kerja keduanya dalam kegiatan berpikir manusia.
Yang lebih ditekankan adalah bagimana rasionalitas atau akal dapat menjadi esensi dan hakikat bagi manusia itu sendiri. Yang dengan sendirinya, mau tidak mau pembahasan tentang cara kerja rasionalitas dalam mewujudkan manusia yang sesungguhnya akan turut dibahas selanjutnya
Rasionalitas atau logos seperti yang telah dibahas sebelumnya adalah sebuah fakultas mental yang bertugas untuk menghasilkan sebuah putusan lengkap dengan argumentasi yang melatar belakangi putusan tersebut. Dalam tradisi Yunani kuno, logos termasuk satu dari tiga bagian “retorika”. Yaitu sebuah seni mempengaruhi orang dengan menggunakan berbagai argumentasi yang masuk akal. Selain logos, ada pathos dan ethos. Pathos adalah merangsang si objek untuk mengubah sikap dan tindakan mereka. Sedangkan ethos adalah pembuktian kredibilitas untuk mempengaruhi orang. Artinya dengan menunjukkan kehebatan diri, si pelaku berusaha mempengaruhi objeknya dengan berbagai kesaktian yang dimilikinya. Tapi kedua hal itu tidak akan terllau dibahas.
Ketiga bagian diatas terus melakukan dialek, dengan begitu retorika pun akan tercapai. Lalu apa peran logos?. Logos berperan untuk mengetahui situasi, baik kondisi dimana ia akan mempraktekkan retorikanya maupun situasi orang yang akan menjadi korbannya. Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa logos memiliki peran untuk menganalisa, menimbang dalam membuat putusan, melakukan perhitungan lalu kemudian menteoretisasi apa yang disimpulkan dan diputuskannya.
Logos oleh Aristoteles kemudian dituangkan dalam teori yang bernama “silogisme”. Dengan kata lain, rasionalisme manusia secara otomatis adalah berbentuk silogisme yang terdiri dari premis-premis. Dari pemahaman diatas, Aristoteles juga menyakini bahwasanya logos merupakan jiwa dari manusia itu sendiri. Suatu hal yang menjadi ciri khas bagi binatang untuk bisa dikatakan manusia. yang dengannya manusia dapat menimbang, memilah, memilih, mengukur dan menilai. Oleh karena itu, manusia disebut juga sebagai “mahluk intelektif”.
Setelah menyakini bahwasanya logos atau rasionalitas merupakan jiwa manusia itu sendiri, yang membedakannya dari binatang-binatang lain. Selanjutnya Aristoteles akan menjelaskan perbedaan antara jiwa manusia dengan jiwa binatang atau mahluk lainnya. Pemikiran filsafat yang dikenal rumit dan njlimet pun akan dimulai dari sini. Dari pembahasan tentang jiwa dalam perspektif Aristoteles rahimahullah.
Sebelum membahas masalah jiwa, Aristoteles menjelaskan terlebih dahulu mengenai sesuatu yang ada “being”. Apa itu ada? bagaimana sesuatu dikatakan ada? ciri khas apa yang harus dimiliki sesuatu untuk dikatakan ada?, semuanya akan diperjelas terlebih dahulu sebelum masuk pada permasalahan jiwa. Menurutnya, segala sesuatu dikatakan ada jika ia memiliki materi (hyle) dan bentuk (forma). Dalam bahasa kasar yang saya pahami, materi adalah sesuatu yang menjadi pusat pengkajian, sedangkan forma adalah aspek darimana kita melakukan kajian (perspektif). Contoh : kursi kayu dan meja kayu. Kayu adalah materi, baik kursi maupun meja adalah bentuk atau forma.
Jiwa adalah forma atau bentuk, sedangkan badan adalah materinya. Jiwa atau forma manusia berbeda dengan jiwa dan forma mahluk lainnya. Dengan forma-nya manusia memiliki potensi untuk berbeda dengan mahluk hidup lainnya. Dengan jiwanya itu manusia mampu bertindak rasional dalam menjalani kehidupannya, yang dengan ke-rasionalannya itu manusia sekali lagi dikatakan berbeda dengan mahluk lainnya. Material atau badan hanyalah aktualisasi dari forma.
Sama halnya dengan kursi kayu. Kursi seperti yang sudah dijelaskan adalah forma, sedangkan kayu adalah materi. Jiwa manusia, esensi manusia adalah forma. Oleh karena itu ia berbeda dengan jiwa mahluk lainnya. Kursi sebagai forma memiliki potensi untuk menjadi alat istirahat, diduduki manusia, lain halnya dengan lemari yang tidak memiliki potensi sama sekali untuk menjadi benda yang diduduki.
Manusia pun sama begitu. Lalu ada materi berupa kayu. Kayu akan mempunyai fungsi menjadi sebuah alat untuk beristirahat dan diduduki hanya jika ia berbentuk kursi. Kalau kayu itu nantinya mempunyai bentuk lemari, fungsi itu (diduduki dan menjadi alat untuk beristirahat) tentu tidak akan didapat. Jadi jiwa dan badan, forma dan materi adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Badan hanyalah potensi mentah yang nantinya memungkinkan jiwa untuk beraktualisasi. Badan hanya menyediakan bahan, selanjutnya jiwa yang akan menentukan wujud dari badan tersebut. Jadi, sebenarnya Jiwa-lah yang menentukan mana manusia, mana binatang dan mana batu.
Untuk lebih memperkuat analisisnya, Aristoteles mengkategorikan segala sesuatu yang ada (being) di dunia ini menjadi tiga kategori. (1) sesuatu yang terdiri dari materi belum tentu, (2) sesuatu sebagai esensi atau bentuk yang memungkinkan sebuah objek menjadi sesuatu tertentu, (3) sesuatu yang tergabung atau digabungkan oleh dirinya dan hal lain. Saya kurang paham bagaimana kelanjutan dari pengkategorian ini, serta cara membedakan dan mengkategorikannya.
Dari pengkategorian diatas, Aristoteles lalu mendapatkan kesimpulan berupa keyakinan bahwa segala sesuatu pasti terdiri dari materi dan forma. Dengan keyakinan itu dia lalu memberikan ciri-ciri umum pada masing-masing keduanya. Materi ia dicirikan dalam kemungkinan, posibilitas, atau potensialitas. Forma dicirikan dalam realisasi, aktualisasi atau manifestasi.
Dari sini kemudian Aritoteles merumuskan tentang dunia determinisnya. Dia menyakini bahwa dunia ini selalu akan berjalan dan berwujud sebagai mana yang telah dia rumuskan. Oleh karena itu, untuk memahami alam beserta seluruh fenomena yang terjadi, Aristoteles membuat suatu aturan berpikir yang dia namakan logika.
Logika ini kemudian yang menjadi ciri khas yang mewakili pemikiran filsafat Aristoteles. Atau dengan kata lain, logika merupakan satu hasil yang menggambarkan hasil berfilsafat ala Aristoteles. Kalau kata-kata logika disebut, tak lain yang dimaksud adalah filsafat Aristoteles.
Penulis : Muhammad Najib (Aktivis HMI)
Al-insanu hayawanun nathiq, sebuah ungkapan yang familiar di telinga banyak orang.
Khususnya mereka yang pernah mempelajari logika atau manthiq.
Ya, ungkapan itu adalah ungkapan yang dilontarkan oleh Imam Al Ghazali, salah seorang imam tercerdas yang pernah dimiliki oleh dunia islam khususnya madzhab ahlus sunnah wa-l-jama’ah.
Manusia adalah binatang yang berakal atau binatang yang rasional. Sama-sama binatang, tapi manusia berbeda dengan binatang-binatang yang lain. Manusia merupakan satu spesies binatang langka yang memiliki keistimewaan.
Yang dengan keistimewaannya itu manusia dinilai lebih berharga daripada binatang secara keseluruhan. Lalu pertanyaannya, apa yang menjadikan manusia begitu istimewa?, begitu dibedakan seakan-akan manusia bukanlah satu species dari mahluk yang bernama binatang. Jawabannya adalah akal atau lebih bagus kalau kita sebut sebagai rasionalitas.
Dengan akalnya, dengan rasionalitasnya itulah manusia memiliki nilai lebih dibandingkan binatang-binatang lainnya. Manusia adalah binatang yang mampu berpikir, menimbang-nimbang, memutuskan suatu putusan berdasarkan perhitungan dan melakukan apa yang dia pikir benar serta bermanfaat. Itu di satu sisi.
Di sisi lainnya manusia memang termasuk jenis binatang. Itu dikarenakan manusia memiliki nafsu, syahwat dan sifat binatangi yang sangat kuat terhadap apa yang diinginkannya. Bahkan, manusia pun lebih keji daripada binatang kata Bang Iwan.
“Manusia sama saja dengan binatang selalu perlu makan. Namun caranya berbeda dalam memperoleh makanan. Binatang tak mempunyai akal dan pikiran, segala cara dihalalkan demi perut kenyang. Binatang tak pernah tau rasa belas kasihan, padahal disekitarnya tertatih berjalan pincang. Namun kadangkal ada manusia seperti binatang.
Bahkan manusia lebih keji dari binatang. Tampar kiri kanan alasan untuk makan, padahal semua tau dia serba kecukupan.
Intip kiri kanan lalu curi jatah orang, peduli sahabat entah kurus kering kelaparan”, kata Bang Iwan lebih lanjut.
Nah, dengan begitu menjadi jelas bagi kita bahwasanya akal dan rasionalitas adalah sebuah ciri pembeda, yang membedakan manusia dengan binatang lainnya. Jadi ungkapan Imam Ghazali diatas ataupun Syair yang Bang Iwan lantunkan tersebut bukan tidak memiliki alasan, akan tetapi mengandung nilai filosofis yang sangat dalam (dengan kata lain, sebenarnya baik Imam Ghazali ataupun Iwan Fals adalah seorang penganut madzhab Aristoteles yang taat).
Seperti juga yang tertuang dalam pemikiran filsafat Aristoteles, yang akan saya bahas pada kesempatan kali ini.
Sebelumnya telah dibicarakan tentang rasio - rasionalitas dalam perspektif logika Aristoteles. Yaitu mendudukkan rasio lebih tinggi daripada rasionalitas. Dia menjadikan rasio sebagai dasar awal pijakan dan pemberi prinsip pertama bagi rasionalitas. Akan tetapi, yang ditekankan kali ini bukanlah bagimana peran rasio dan rasionalitas serta cara kerja keduanya dalam kegiatan berpikir manusia.
Yang lebih ditekankan adalah bagimana rasionalitas atau akal dapat menjadi esensi dan hakikat bagi manusia itu sendiri. Yang dengan sendirinya, mau tidak mau pembahasan tentang cara kerja rasionalitas dalam mewujudkan manusia yang sesungguhnya akan turut dibahas selanjutnya
Rasionalitas atau logos seperti yang telah dibahas sebelumnya adalah sebuah fakultas mental yang bertugas untuk menghasilkan sebuah putusan lengkap dengan argumentasi yang melatar belakangi putusan tersebut. Dalam tradisi Yunani kuno, logos termasuk satu dari tiga bagian “retorika”. Yaitu sebuah seni mempengaruhi orang dengan menggunakan berbagai argumentasi yang masuk akal. Selain logos, ada pathos dan ethos. Pathos adalah merangsang si objek untuk mengubah sikap dan tindakan mereka. Sedangkan ethos adalah pembuktian kredibilitas untuk mempengaruhi orang. Artinya dengan menunjukkan kehebatan diri, si pelaku berusaha mempengaruhi objeknya dengan berbagai kesaktian yang dimilikinya. Tapi kedua hal itu tidak akan terllau dibahas.
Ketiga bagian diatas terus melakukan dialek, dengan begitu retorika pun akan tercapai. Lalu apa peran logos?. Logos berperan untuk mengetahui situasi, baik kondisi dimana ia akan mempraktekkan retorikanya maupun situasi orang yang akan menjadi korbannya. Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa logos memiliki peran untuk menganalisa, menimbang dalam membuat putusan, melakukan perhitungan lalu kemudian menteoretisasi apa yang disimpulkan dan diputuskannya.
Logos oleh Aristoteles kemudian dituangkan dalam teori yang bernama “silogisme”. Dengan kata lain, rasionalisme manusia secara otomatis adalah berbentuk silogisme yang terdiri dari premis-premis. Dari pemahaman diatas, Aristoteles juga menyakini bahwasanya logos merupakan jiwa dari manusia itu sendiri. Suatu hal yang menjadi ciri khas bagi binatang untuk bisa dikatakan manusia. yang dengannya manusia dapat menimbang, memilah, memilih, mengukur dan menilai. Oleh karena itu, manusia disebut juga sebagai “mahluk intelektif”.
Setelah menyakini bahwasanya logos atau rasionalitas merupakan jiwa manusia itu sendiri, yang membedakannya dari binatang-binatang lain. Selanjutnya Aristoteles akan menjelaskan perbedaan antara jiwa manusia dengan jiwa binatang atau mahluk lainnya. Pemikiran filsafat yang dikenal rumit dan njlimet pun akan dimulai dari sini. Dari pembahasan tentang jiwa dalam perspektif Aristoteles rahimahullah.
Sebelum membahas masalah jiwa, Aristoteles menjelaskan terlebih dahulu mengenai sesuatu yang ada “being”. Apa itu ada? bagaimana sesuatu dikatakan ada? ciri khas apa yang harus dimiliki sesuatu untuk dikatakan ada?, semuanya akan diperjelas terlebih dahulu sebelum masuk pada permasalahan jiwa. Menurutnya, segala sesuatu dikatakan ada jika ia memiliki materi (hyle) dan bentuk (forma). Dalam bahasa kasar yang saya pahami, materi adalah sesuatu yang menjadi pusat pengkajian, sedangkan forma adalah aspek darimana kita melakukan kajian (perspektif). Contoh : kursi kayu dan meja kayu. Kayu adalah materi, baik kursi maupun meja adalah bentuk atau forma.
Jiwa adalah forma atau bentuk, sedangkan badan adalah materinya. Jiwa atau forma manusia berbeda dengan jiwa dan forma mahluk lainnya. Dengan forma-nya manusia memiliki potensi untuk berbeda dengan mahluk hidup lainnya. Dengan jiwanya itu manusia mampu bertindak rasional dalam menjalani kehidupannya, yang dengan ke-rasionalannya itu manusia sekali lagi dikatakan berbeda dengan mahluk lainnya. Material atau badan hanyalah aktualisasi dari forma.
Sama halnya dengan kursi kayu. Kursi seperti yang sudah dijelaskan adalah forma, sedangkan kayu adalah materi. Jiwa manusia, esensi manusia adalah forma. Oleh karena itu ia berbeda dengan jiwa mahluk lainnya. Kursi sebagai forma memiliki potensi untuk menjadi alat istirahat, diduduki manusia, lain halnya dengan lemari yang tidak memiliki potensi sama sekali untuk menjadi benda yang diduduki.
Manusia pun sama begitu. Lalu ada materi berupa kayu. Kayu akan mempunyai fungsi menjadi sebuah alat untuk beristirahat dan diduduki hanya jika ia berbentuk kursi. Kalau kayu itu nantinya mempunyai bentuk lemari, fungsi itu (diduduki dan menjadi alat untuk beristirahat) tentu tidak akan didapat. Jadi jiwa dan badan, forma dan materi adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Badan hanyalah potensi mentah yang nantinya memungkinkan jiwa untuk beraktualisasi. Badan hanya menyediakan bahan, selanjutnya jiwa yang akan menentukan wujud dari badan tersebut. Jadi, sebenarnya Jiwa-lah yang menentukan mana manusia, mana binatang dan mana batu.
Untuk lebih memperkuat analisisnya, Aristoteles mengkategorikan segala sesuatu yang ada (being) di dunia ini menjadi tiga kategori. (1) sesuatu yang terdiri dari materi belum tentu, (2) sesuatu sebagai esensi atau bentuk yang memungkinkan sebuah objek menjadi sesuatu tertentu, (3) sesuatu yang tergabung atau digabungkan oleh dirinya dan hal lain. Saya kurang paham bagaimana kelanjutan dari pengkategorian ini, serta cara membedakan dan mengkategorikannya.
Dari pengkategorian diatas, Aristoteles lalu mendapatkan kesimpulan berupa keyakinan bahwa segala sesuatu pasti terdiri dari materi dan forma. Dengan keyakinan itu dia lalu memberikan ciri-ciri umum pada masing-masing keduanya. Materi ia dicirikan dalam kemungkinan, posibilitas, atau potensialitas. Forma dicirikan dalam realisasi, aktualisasi atau manifestasi.
Dari sini kemudian Aritoteles merumuskan tentang dunia determinisnya. Dia menyakini bahwa dunia ini selalu akan berjalan dan berwujud sebagai mana yang telah dia rumuskan. Oleh karena itu, untuk memahami alam beserta seluruh fenomena yang terjadi, Aristoteles membuat suatu aturan berpikir yang dia namakan logika.
Logika ini kemudian yang menjadi ciri khas yang mewakili pemikiran filsafat Aristoteles. Atau dengan kata lain, logika merupakan satu hasil yang menggambarkan hasil berfilsafat ala Aristoteles. Kalau kata-kata logika disebut, tak lain yang dimaksud adalah filsafat Aristoteles.
Komentar