Langsung ke konten utama

KETELADANAN LAFRAN PANE SEBAGAI GURU BANGSA






Penulis : Muhammad Najib (Anggota Biasa HMI Cabang Medan)

Lafran Pane pantang menyerah dalam mewujudkan gagasan-gagasan baik untuk kepentingan bersama.
Sepanjang tahun 1946, dia terdorong dan mempunyai ide untuk membentuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Hal ini tidak mudah karena masih ada beberapa unsur dari Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang belum bersedia memahaminya.

Setelah melalui berbagai upaya yang tidak mudah, pada awal 1947 momentum bagi Lafran Pane tiba. Buku Lafran Pane: Jejak dan Pemikirannya (2010) karya Hariqo Wibawa Satria menjelaskan detik-detik kelahiran HMI.

Saat itu, kuliah tafsir yang diampu Hussein Yahya akan berlangsung. Lafran Pane meperhatikan bahwa beberapa rekannya yang masih berseberangan pandangan kebetulan tidak hadir.
Karena itu, dia meminta izin kepada sang dosen agar diberikan waktu setelah kuliah untuk berbicara di depan kelas.
Hussein Yahya mengizinkannya tanpa tahu apa pokok persoalan yang hendak disampaikan.

Saat itu pukul 16.00 WIB tanggal 5 Februari 1947 di STI, Jalan Setyodiningratan, Yogyakarta.
Lafran Pane memimpin rapat yang dihadiri sejumlah rekan-rekannya sesama mahasiswa.

Seperti dikutip dalam buku Hariqo (2010), dia mengatakan, “Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi mahasiswa Islam.
Karena semua persiapan dan perlengkapan sudah beres, siapa yang mau menerima berdirinya organisasi mahasiswa Islam ini, itu sajalah yang diajak, dan yang tidak setuju biarkanlah mereka terus menentang. Toh tanpa mereka, organisasi ini akan bisa berjalan.”

Tampak Lafran Pane bersikap tegas tetapi tetap terbuka di dalam pendiriannya.
Hussein Yahya (dosennya) yang hadir dalam kesempatan itu diberikan waktu berbicara tetapi menolaknya.
Sebab, sang dosen merasa tidak ingin mencampuri apa-apa yang merupakan urusan mahasiswa.

Selanjutnya, Lafran Pane mengadakan sesi tanya jawab dengan para mahasiswa peserta rapat.
Secara keseluruhan, mereka menyepakati terbentuknya organisasi ini, yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Ada dua tujuan HMI.
Pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
Kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Pada point ini, tampak bahwa beliau berupaya menyelaraskan polarisasi antara nasionalisme (sekular) dan Islam.
Dengan perkataan lain, Lafran memandang tidak perlu menghadapkan secara diametral antara cita-cita kebangsaan dan keislaman.

Beberapa waktu kemudian, harian Kedaulatan Rakyat pada 28 Februari 1947 menampilkan berita tentang pendirian Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang akan menjadi anggota Kongres Mahasiswa Indonesia. Sekretariat HMI disebutkan beralamat di Asrama Mahasiswa, Setyodiningratan 5, Yogyakarta.

Sekitar enam bulan setelah HMI berdiri, susunan kepengurusan berubah.
Ketua HMI dijabat MS Mintaredja. Sedangkan Lafran Pane menjadi wakil ketua.
Hal ini terjadi setelah Lafran Pane berdiskusi dengan Muhammad Syafaat (MS) Mintaredja usai Idul Fitri tahun itu.

Keduanya sudah saling kenal sejak penyelenggaraan Kongres Perhimpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Malang, Jawa Timur, pada Maret 1947.
Saat itu, MS Mintaredja merupakan tokoh mahasiswa Fakultas Hukum BPT Gadjah Mada (kini UGM).
Ada maksud implisit bahwa Lafran Pane ingin merangkul segenap mahasiswa Muslim di luar STI Yogyakarta, sehingga dengan keikhlasan dan ketulusan yang beliau miliki, akhirnya beliau merelakan jabatan yang tiada dibawa mati kalau istilah yang dapat kita kutip darinya kepada seseorang yang lebih berhak.

Hingga akhir tahun 1947, HMI sudah memiliki cabang di Yogyakarta, Solo, Klaten, dan Malang.
Pada 30 November 1947, HMI menggelar kongres pertama di Yogyakarta.
Jumlah pesertanya mencapai 100 orang.
Salah satu agendanya adalah pemilihan unsur-unsur Pengurus Besar HMI. Hasilnya, MS Mintaredja didaulat menjadi ketua umum PB HMI periode 1947-1948.
Sementara itu, Lafran Pane terpilih selaku sekretaris PB HMI dan merangkap ketua HMI Cabang Yogyakarta.
Hariqo Wibawa Satria mengistilahkan momentum ini sebagai fase pengokohan internal HMI agar berkelanjutan untuk masa-masa berikutnya.
Terbukti, organisasi ini telah bertahan 71 tahun lamanya sampai saat ini.


Independensi

Mantan Pengurus PB HMI Baharuddin Aritonang menyebutkan, sejak awal HMI selalu bersifat independen.
Secara individual, para anggota dan alumninya banyak berkiprah di organisasi-organisasi lain.

Karena itu, HMI cukup digemari para mahasiswa di tiap zaman. Keanggotaannya mencapai ratusan ribu orang, sedangkan alumninya sudah berjumlah hingga enam juta orang lebih. “Di HMI, semua kelompok atau aliran Islam dapat berkiprah,” kata Baharuddin Aritonang dalam artikelnya untuk Republika, 29 Januari 2016.

Kecenderungan HMI tentunya tidak lepas dari sikap terbuka (open minded) dalam diri Lafran Pane sebagai sang pendiri.
Di samping itu, Lafran Pane juga dikenal sebagai sosok yang visioner tetapi enggan menonjolkan diri.

Sikap rendah hati ini tampak dari penggambaran seorang koleganya di STI (kini UII Yogyakarta), Prof Sarwidi. Dalam tulisannya yang sampai pada Republika, 7 November 2017, guru besar ilmu teknik sipil itu menyebut Lafran Pane sebagai motivator besar bagi generasi penerus bangsa. Kesederhanaan selalu menjadi perilaku hidupnya.

Sarwidi mencontohkan, sebagai dosen, Lafran Pane sering mengisi kuliah pada pagi-pagi ba'da shalat subuh berjamaah di lingkungan kampus STI.
Suami dari Bisromah itu memilih sepeda ontel sebagai alat transportasi dari rumah dan menuju kampus.

Kebiasaan yang bersahaja ini selaras dengan tabiatnya yang tenang.
Raut wajah Lafran Pane, demikian Sarwidi, sering tanpa ekspresi emosi. Itu tampak misalnya ketika sedang berdiskusi atau menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang kadang cukup keras dari para mahasiswa.

Bagi Baharuddin Aritonang, beberapa pemikiran Lafran Pane tampil melampaui masanya.
Sejak jauh-jauh silam, sosok yang wafat pada 25 Januari 1991 itu sudah memprediksi perlunya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 demi menjawab tantangan zaman.
Ini tercermin dalam pidato pengukuhan guru besar ilmu tata negara di IKIP Yogyakarta (kini UNY) pada 1970.
Lafran Pane menegaskan bahwa UUD 1945 yang disusun BPUPKI, diputuskan PPKI pada 1945 serta diberlakukan lagi via Dekrit Presiden Sukarno 5 Juli 1959 bersifat sementara.

Artinya, generasi mendatang perlu memikirkan kemungkinan adanya Perubahan UUD 1945.
Namun, Lafran Pane menegaskan, bilamana langkah ini ditempuh, Mukaddimah UUD 1945 jangan menjadi objek perubahan.
Sebab, teks itu memuat enam prinsip dasar bernegara.
Lafran Pane juga memandang tidak perlunya tafsir tunggal atas Mukaddimah UUD 1945.

Jati Diri HMI

Bapak tiga anak itu juga menyoroti fungsi majelis permusyawaratan rakyat (MPR).
Menurutnya, anggota MPR semestinya dipilih langsung rakyat bilamana lembaga itu menjadi pelaksana kedaulatan rakyat.
Dalam konteks yang sama, Lafran Pane juga memandang perlunya pemilihan presiden secara langsung bila memang RI menganut sistem presidensial.

Baharuddin Aritonang menjelaskan, penerapan pemikiran Lafran Pane itu kemudian terwujud pada awal era Reformasi.
Dalam sidang MPR sepanjang tahun 1999-2002, gagasan sang pendiri HMI itu menjadi satu opsi yang dipertimbangkan.
Hasil dari sidang itu antara lain bahwa MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara yang menyusun garis-garis besar haluan negara (GBHN).

Sampai saat ini, HMI mengembangkan visi Lafran Pane mengenai wawasan keislaman, keindonesiaan, dan kemahasiswaan.
Dengan begitu, HMI menegaskan jati dirinya sebagai organisasi mahasiswa yang berasaskan Islam sekaligus siap berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dengan berorientasi pada perkembangan ilmu pengetahuan.

Perjuangan Lafran Pane mendirikan HMI merupakan cerminan kemampuan intelektualnya dalam merespons perkembangan zaman.
Pada 1947, ada dua kekuatan dominan yang mewarnai dunia pergerakan mahasiswa.
Pertama, dominasi pemikiran sekularisme dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Paham tersebut tampak berupaya menyingkirkan peran agama dalam membekali insan-insan mahasiswa sebagai agen perubahan di tengah masyarakat.

Kedua, kecenderungan komunisme menyusup ke dalam organisasi kemahasiswaan saat itu, semisal PMY atau Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Solo, Jawa Tengah.
Selain dua faktor itu, ada pula tantangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari gempuran militer Belanda yang terjadi hingga Pengakuan Kedaulatan pada 1949.
Dalam konteks itulah, Lafran Pane memprakarsai terbentuknya HMI.
Dia ingin agar organisasi ini berperan strategis dalam membentuk dan membina kader-kader. Kaum intelektual muda itu rata-rata berasal dari kelas menengah yang tinggal di perkotaan dan pedesaan.

Mereka sesungguhnya merupakan calon cendekiawan dan pemimpin di masa depan.
Karena itu, perlu mempersiapkan mereka dalam bingkai ideologi keislaman dan keindonesiaan, bukan justru terperangkap framing paham-paham yang abai kepekaan sosial dan agama, semisal liberalisme, sekularisme atau komunisme.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KESETIAAN

Penulis : Muhammad Najib (Mahasiswa UIN SU - Medan) Lingkungan salah satu kunci dasar kita membentuk karakter, tanpa kita sadari karakter kesetiaan hadir karena sebuah lingkungan. Pahit, manisnya hidup penetralisirnya adalah hati, untuk menguatkan hati kuncinya adalah kesetiaan, setia pada kebenaran dan nilai-nilai yang benar bukan dianggap benar sekali lagi bukan dianggap benar.  Kesetiaan mampu kita upayakan kalau dihati memang mempunyai niatan tulus untuk saling merawat, menjaga, serta memperhatikan kewajiban dan hak kita sebagai hamba dan makhluk sosial. Merawat lingkungan tugas kita sebagai makhluk Tuhan yang sempurna bahkan menjaganya.  Memperhatikan lingkungan merupakan bagian dari observasi untuk membangkitkan semangat kepedulian agar melahirkan KESETIAAN. Dalam catatan sejarah, sederhanya Islam takkan besar kalau Nabi Muhammad SAW tak memiliki orang-orang yang setia seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali dan sahabat-sahabat lainnya. Serta sama halnya seperti Indonesia

DAGINGNYA PARA ULAMA ITU BERACUN

Teman ? Siapakah teman itu? Ialah yang setia menemani disaat suka & duka. Jelas bukan yang ada hanya bila butuh sesuatu saja. Apalagi yang menusuk dari belakang, menggunting dalam lipatan, menyerang & melempar fitnah di tengah perjuangan. Layaknya ketika kita berada ditengah perjuangan berhijrah menjadi lebih baik. Kala level kita akan naik itu, tak sedikit dari teman kita malah jadi menjauhi dan mencaci "sok alim..sok suci..sok sholeh..riya..gila pujian..dll" Karena begitulah siklusnya, Allah sengaja melakukan seleksi itu. Kenapa? Karena di mata Allah, antum sudah beda level, mereka sudah gak level dengan antum. Proses penjauhan teman lama itu ibarat musim gugur yang merontokkan daun-daun lama yang tak layak lagi dipertahankan. Agar kelak di musim semi akan diganti oleh tunas-tunas daun yang hijau, setia nan kokoh. Seperti itulah siklus pertemanan. Pilpres 2019 bagi UAS ialah fenomena yang memperlihatkan mana teman sejati, mana lawan yang berbaju kawan se

MENIKMATI NDP HMI

Ket. Gambar : Menikmati Kopi NDP Penulis : Muhammad Najib (Instruktur HMI Cabang Medan) Sejarah NDP menurut Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul : [Muqaddimah : Perkembangan sosio historis menunjukkan, selain Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI sejak tahun 1947 hingga tahun 2010, HMI telah memiliki 10 naskah atau dokumen sebagai ideologi atau doktrin perjuangan HMI (Baca Sejarah Perjuangan HMI jika ingin mengetahui uraiannya). Sepuluh doktrin perjuangan HMI tersebut lazim disebut sebagai ideologi HMI. Seperti ditulis A. Dahlan Ranuwihardjo, ideologi adalah "seperangkat ajaran-ajaran tertentu atau gagasan-gagasan berdasarkan suatu pandangan hidup untuk mengatur kehidupan negara/masyarakat didalam segi-seginya serta yang disusun didalam sebuah sistem berikut aturan-aturan operasionalnya."] Berarti dengan keterangan diatas, Islam bukanlah ideologi, seperti halnya ideologi Pancasila, sosialis, komunis, kapitalis, dan lain-lain. Islam adalah wahyu dari Allah swt. Seda