Himpunan mahasiswa Islam atau yang masyhur dengan nickname HMI merupakan icon dari seantero organisasi mahasiswa eksternal yang ada dan berkembang di Indonesia.
Sebagai nenek moyang atau sesepuh organisasi mahasiswa, tentu HMI telah mengalami regenerasi berulang kali dan sampai generasi hari ini, HMI tetap BAHAGIA.
Lain halnya dengan para kader yang hanya bersyukur dan ikhlas namun kadang lalai berdoa dan lupa akan ikrarnya.
HMI sebagai organisasi kader tentunya bergantung pada PERKADERAN, dan untuk melaksanakannya tentu harus berpedoman pada KONSTITUSI.
Namun apa yang terjadi? Ternyata ada yang penting untuk dievaluasi dalam estafet kepemimpinan di HMI.
Menjadi pemimpin di HMI di tingkat komisariat memiliki nilai jual position yang cukup WOW, begitu pula di tataran korkom (koordinator komisariat), di cabang dan di badko (badan koordinator-taraf propinsi), apalagi di tingkat pusat (Pengurus Besar/PB).
Gelar ketua umum (ketua umum) diperoleh melalui pemilihan yang menganut sistem demokrasi langsung dan menjadi ajang bergengsi, bisa jadi alumni mengintervensi.
Berimbas pada kaderisasi yang berubah menjadi karbitisasi.
Pemilihan ketum komisariat melalui rapat anggota komisariat (RAK), pemilihan ketum korkom melalui musyawarah komisariat (muskom), pemilihan ketum cabang melalui konferensi cabang (konfercab), pemilihan ketum badko melalui musyawarah daerah (musda), pemilihan ketum PB melalui kongres. Idealnya pengambilan keputusan melalui musyawarah adalah mencapai mufakat. Realitanya pengambilan keputusan di semua jenjang (komisariat-PB) hampir selalu dilaksanakan melalui voting (suara terbanyak).
Strategi pemenangan antara lain dengan konsolidasi (lobi sana sini menawarkan kontrak politik), merekayasa draft, setting peserta.
Dinamika dalam proses pemilihan yang diharapkan sebagai sumber belajar secara kontekstual hanya sekadar wacana, kenyataannya yang terjadi adalah peristiwa pembodohan massal.
Semuanya tertata seolah-olah mengimplementasikan materi-materi yang didapatkan dari training perkaderan (basic, intermediate, advance) yaitu polstratak serta manajemen organisasi dan kepemimpinan padahal bertolak belakang, mengabaikan ideologi, mission, konstitusi, NDP (NIlai Dasar Perjuangan).
Teknik (tata cara) persidangan yang ada justru menunjukkan bahwasannya kader HMI bukanlah insan akademis karena berlaku anarkis tanpa etika dan kehilangan estetika.
Dihadapkan pada berbagai kepentingan individu atas nama organisasi bukannya demi organisasi, HMI tampak sebagai organisasi politis berbasis massa yang bergantung pada kuantitas bukan kualitas kader sehingga jauh dari "INSAN CITA". Pemenangan ketum berhubungan erat dengan hegemoni dalam internal kampus yang mengubah HMI tidak lagi menjadi wadah tetapi alat/kendaraan dengan embel-embel kader HMI back to campus.
Pemilihan ketum di HMI mengadopsi sistem pemilu yang berlangsung di Republik ini.
Bahkan politic costnya melebihi caleg DPR RI yang kabarnya ratusan juta.
Kongres, musda, konfercab bahkan RAK sesungguhnya ada terdapat penyakit turunan dari generasi ke generasi yakni intervensi/negosiasi antar alumni.
Founding father himpunan yang berkeyakinan HMI dapat memenuhi Harapan Masyarakat Indonesia sejauh ini masih sebatas cita-cita mulia.
Kader HMI berlaku eksklusif, sibuk dengan agenda internal yang tidak jua maksimal, tak lagi kritis untuk mengambil sikap yang solutif terhadap wacana maupun isu kekinian yang berhembus di dalam kampus dan negara (skala regional dan nasional).
Hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya sering menjadi alasan bagi kader yang idealis dan potensial menjaga jarak bahkan enggan berhimpun lagi.
Himpunan yang sangat kuat dan besar, namun sayang rapuh di dalam.
Sifat independensi dibutuhkan oleh HMI untuk mewujudkan perannya sebagai organisasi perjuangan.
Independensi terganggu karena bidang kewirausahaan dan pengembangan profesi yang menjadi ujung tombaknya kurang mendapatkan perhatian pengurus dan kurang diminati oleh kader.
Jadi mau tidak mau kader atau pengurus masih saja bergantung dan berpangku tangan terhadap alumni yang dengan itu bisa mengintervensi.
Walaupun saat ini HMI masih sanggup bertahan namun penyakit yang menggerogoti harus segera ditangani dan menjadi tanggungjawab bersama antara kader dengan alumni.
Beberapa alumni sudah menyadari bahwasannya telah terjadi salah asuhan dalam proses perkaderan di HMI.
Supaya para kader terbina kembali pada khittohnya, membutuhkan motivasi dan dukungan yang kuat dari para alumni (KAHMI dan FORHATI).
Semuanya harus ikhlas-legowo.
Konsep praktis-eksis haruslah diperbaharui karena sudah tidak berlaku lagi untuk perbaikan diri di tubuh HMI. Kader yang bermasalah menjadi pemikiran alumni, begitu pula ketika alumni tersandung kasus, kader pun turut merasakan.
Mari bersama-sama menghimpun kekuatan menyongsong agenda besar nasional jelang pemilu 2019.
Kader juga mengharapkan dari alumni yang mampu memimpin negeri ini dengan tetap menggandeng kader HMI sebagai INSAN AKADEMIS, PENCIPTA, PENGABDI, YANG BERNAFASKAN ISLAM DAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS TERWUJUDNYA MASYARAKAT ADIL MAKMUR YANG DIRIDHOI ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA.
Dengan begitu HMI tetap menggurita di Indonesia demi memperkukuh semangat Keislaman-Keindonesiaan.
BAHAGIA HMI,
JAYALAH KOHATI.
RUKUN BERHIMPUN..
BANGKIT INDONESIAKU...
Muhammad Najib
Komentar